Friday, January 20, 2012

The Day When You Die






Prolog -
Jika aku bisa memutar kembali waktu, aku ingin bisa bersamanya lagi. Menghapus semua ingatan buruknya tentangku dan mengisinya kembali dengan kenangan-kenangan indah. Aku harap ia tak melupakan semuanya. Walau ia tak ada disini lagi, di sisiku, di kehidupanku. Aku, Devangelia Aurellin. Panggil saja Angel. Disaat aku mengerti pentingnya persahabatan, aku  kehilangan sahabatku, Mikka.
End of Prolog-

“Angel…”
“Mi.. Mikka ? Wajahmu ?”
“Iya aku tahu. Pucat bukan ?”
“I..iya..”
“Hari ini, adalah hari terakhir aku bisa bertemu denganmu..”
“Hmm.. Tapi kenapa ?”
“Aku akan pergi..”
“Pergi ? Apa maksudmu pergi keluar kota?”
“Bukan.. pergi dari kehidupanmu..”
“Apa kau tak mau bersahabat denganku lagi?”
“Waktuku tak banyak. Aku harus pergi, tak lama lagi..”
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu."
"Aku akan pergi, meninggalkan dunia dan kebahagiaanku disini.."
“Mikka ..“
“Ambil ini.. gelang persahabatan kita. Simpan baik-baik ya..”
“…” 

Aku menatap jalinan tali ungu hitam itu. Mikka tersenyum padaku. Ia mengambil gelang itu dari genggamanku, dan memasangnya di pergelangan tanganku. Keheningan terjadi diantara kita. Tak ada yang memulai pembicaraan. Angin berhembus dengan kencang. Membuatku harus memejamkan kedua mataku agar tak ada debu yang menyelinap masuk. Ketika angin berhenti Mikka .. menghilang. Aku berusaha mencarinya. Berteriak memanggil namanya. Namun, Mikka tetap pergi dan tak kembali lagi.  

Aku terbangun dari tidurku. Ya , untung saja.. itu hanya mimpi. Mimpi yang mungkin akan menjadi frasa pahit bagiku. Huh .. Kuhembuskan nafas seraya melangkah menuruni tangga menuju  ruang keluarga. Sepi... Tak ada siapapun disini. Aku segera berlari menuju dapur, kupikir mereka semua sedang sarapan. Namun aku salah. Disini juga sepi. Kemana mereka? Apa mereka masih tertidur? Aku telah mencari mereka di semua pelosok rumahku, bahkan gudang. Kosong. Aku memutuskan untuk menunggu mereka di teras rumah sembari menyeruput teh hangat yang kuracik sendiri.  

Sudah 2 jam aku menunggu. Tak ada tanda-tanda mereka akan datang. Terlintas di benakku mimpi Mikka semalam itu. Membuat jantungku berdegup lebih hebat dari sebelumnya. Hembusan angin pagi, membuat mataku terasa berat. Mungkin akan lebih baik jika aku membasuh wajah atau berendam air hangat.  

Kutatap refleksiku di cermin. Hmm.. aku tak percaya bahwa itu diriku. Cukup manis.. Hanya satu kata yang menurutku layak untuk Devangelia Aurellin. Kusisir kembali rambutku hitam dan panjangku ini. Dan .. hei, aku tak tahu itu apa. Bahkan aku baru menyadarinya. Jalinan tali ungu hitam di tangan kiriku. Bukankah itu gelang persahabatan yang diberikan Mikka untukku ? Tapi itu hanya mimpi. Apakah semua mimpi itu akan menjadi kenyataan ? Berbagai pertanyaan seakan menghantui.

Aku berjalan menuju almari pakaian. Rasa takut menyelimutiku. Segera kupercepat langkah dan sesekali melirik benda yang melingkar erat di pergelangan tanganku. Kurasakan keringat bercucuran. Aku segera membuka pintu alamari. 
"Black ?"
Hanya pakaian berwarna hitam yang memenuhi almari. Bahkan aku tak ingat penah membeli pakaian berwarna hitam sebanyak ini. Lalu kukenakan black dress berhiaskan purple rose disebelah kirinya. Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk. 

"Siapa? Silahkan masuk."
"Angel.."
"Kak Gissele ?"
"Hmm.. Aku ingin memberitahumu bahwa Mikka.."
"Apa Mikka pergi untuk selamanya?"
"Ka..Ka..Kamu? Mengetahuinya? Siapa yang memberitahumu?"
"Mikka memberitahuku semalam..."
"Mikka?!"
"Ya.. Ia menghampiriku kemarin malam dan memberiku ini. See?" Seraya
memperlihatkan gelang persahabatanku.
"........." 
"Kenapa kakak hanya diam? Kita harus cepat menuju pemakamannya." 

Aku meninggalkan kamar dan Kak Gissele yang masih terpaku disana. Aku segera menuju rumah Mikka dengan berjalan kaki sambil membawa seikat mawar hitam dan ungu untuknya. Kupercepat langkahku, aku tak ingin tertinggal acara pemakaman ini. Hari terakhirku bertemu dengannya, sahabatku, Mikka Marcellin. Kuraskan kristal bening di kedua sudut mataku. Kristal-kristal itu pun terjatuh dan kini membasahi kedua pipiku. Mikka.. Mengapa kau pergi begitu cepat?

Aku melamun, berjalan lunglai, melewati jalan setapak, dan juga taman bunga yang telah menjadi saksi bisu persahabatan kita. Aku merindukan semuanya. Berlari dihamparan rumput hijau, sembari menunggu Mikka yang sedang memanjat pohon. Hanya itu yang bisa kulakukan, karena aku tak bisa memanjat seperti Mikka. Aku hanyalah gadis pendiam yang lebih suka untuk tampil girly, tidak seperti Mikka, gadis tomboy yang selalu tampil cuek, namun manis.

Kita berbeda dan tak akan pernah sama. Namun, perbedaan itu membuat kita saling melengkapi. Aku bahagia memiliki sahabat sepertinya. Dan tentunya, hasrat terbesarku saat ini adalah :
"Aku ingin menyusul kepergianmu, Mikka…"  

Tinggal lima belas langkah lagi, kurasa aku akan sampai rumah Mikka. Dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat keramaian dan suasana duka. Aku tak menyadari, ternyata kini aku berada di tengah jalan. Aku menoleh kebelakang. Kulihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Sepertinya tidak ada waktu lagi untuk menghindar. Lebih baik kupasrahkan saja. DDUARR!!!
“ Kyyaaaa!!!”  

Aku melihat diriku disana, berlumuran darah, menggenggam mawar hitam dan ungu yang ingin kuberikan untuk Mikka. Kedua orangtuaku menangis disisiku, begitu juga kakak perempuanku, Gissele Aurellin. Aku ingin menenangkan mereka, dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Segera aku mendekat dan berusaha untuk berbicara serta memperlihatkan diriku. Namun tak berhasil. Beberapa orang mengangkat badanku yang tergeletak lemas dan membawanya masuk ke mobil ambulan. Hey ! Kalian membawaku kemana? Aku hanya bisa diam dan pasrah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. 

"Angel.. "
"Mikka..?" Mikka mendekat dan ia tersenyum padaku.
"Angel, apa kau akan ikut bersamaku?"
"Hmm.. Aku ingin bisa bersamamu.."
"Sungguh ?"
"Ya.. Hmm.. Aku dimana? Mengapa aku tak bisa berbiara dengan mereka? Bahkan
mereka tak ada yang melihatku. Bukankah kau sudah meninggal?"
"Kau sedang berada di antara hidup dan matimu."
"Apa ?"
"Kuharap kau dapat memahaminya. Bagaimana? Kau jadi ikut?"
"Tapi.. bagaimana dengan keluargaku?"
"Jika kau ikut denganku, mereka pasti akan merasa kehilangan."
"Hmm.."
"Lebih baik, kau kembali.."
"Tapi aku.."
"Angel, belum saatnya bagimu untuk menyusul kepergianku."
"....." Aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ngel, apa kau masih menyimpan gelang persahabatan kita?"
"Tentu saja.. Ini, kau bisa melihatnya sendiri."
"Aku juga.. Jika kau ingin bertemu denganku, pejamkan matamu dan genggam erat gelang ini. Aku akan hadir dan lihatlah aku dengan hatimu."
"Mikka, satu hal yang tak akan pernah berubah. Apa kau tahu itu?"
"Tidak, hal apa?"
"Kau akan tetap menjadi sahabat terbaikku.."
"Kau juga Angel.. Ya sudah , sekarang saatnya kau kembali.."
"Secepat itukah? Aku masih ingin bersamamu.."
"Mereka mencemaskanmu."
"Bagaimana jika aku lebih memilih untuk pergi bersamamu, Mikka ?"
"Apa kau yakin dengan keputusanmu?"
"Hmm.. Jika aku pergi bersamamu, apa mereka masih bisa melihatku?"
"Tidak."
"Apa mereka masih bisa mendengarku?"
"Tidak."
"Apa mereka akan mengetahui kehadiranku."
"Hanya mengetahui, namun tak bisa berbuat apa pun."
"Jika aku kembali bersama mereka, apa aku masih bisa bertemu denganmu?"
"Ya."
"Apa kau akan memperlihatkan dirimu padaku?"
"Ya."
"Apa kau masih tetap menjadi sahabat dan mau mendengar semua ceritaku?"
"Tentu saja, kau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain Angel."
"Apa itu?"
"Kepekaan dan hati yang tulus, itulah yang membuat kita masih bisa bersahabat walau berada di tempat yang berbeda."
"Kau tidak sedang membohongiku kan? Aku bukan anak kecil lagi Mikka.."
"Tidak , untuk apa aku berbohong? Sedangkan saat ini aku bisa saja mempengaruhimu agar kau ikut bersamaku.."
"Baiklah, aku akan kembali, tapi kau harus berjanji akan melakukan itu semua."
"Janji.." Mikka menyodorkanku jari kelingkingnya.
"Thanks Mikka.. Baik baik disini ya, aku tak akan melupakanmu..."
"Aku akan hadir jika kau membutuhkanku.. Aku akan baik baik saja." 

Aku memeluk Mikka erat, ia pun juga melakukan hal yang sama. Menangis? Tentu saja. Pertemuan singkat yang menyisakkan kepedihan mendalam. Kini saatnya aku kembali ke kedua orangtuaku. Dari tempatku saat ini, aku bisa melihat diriku yang sedang berada di ruang ICU dan juga kedua orangtuaku yang menangis tersedu bahkan Mikka yang terbaring lemas di dalam peti putih itu. Saat ini, aku bisa melihat semua keadaan di tempat yang berbeda. Aku memutuskan untuk kembali ke kedua orangtuaku. 

"Bunda.."
"Angel? Kau sudah sadar nak?"
"Mikka mana Bun?"
"Ia.. Ia sudah meninggal.."
"Bisakah kita ke rumah Mikka sekarang, Bun?"
"Tentu saja.." Aku duduk di atas kursi roda dengan infus yang membuatku risih. Tapi apa pun akan kulakukan demi persahabatan kita.

Aku dan keluargaku sampai di rumah Mikka. Kulihat semua telah mempersiapkan diri untuk pergi ke pemakaman. Mereka menangis, sama sepertiku. Aku mendekati peti milik Mikka, melihatnya untuk terakhir kalinya. Namun, sekarang aku menghampirinya dengan senyuman bukan isak tangis seperti sebelumnya. Aku telah berjanji pada diriku sendiri tak akan membuat Mikka cemas disana. Dan .. itu mawar hitam dan ungu yang kuberikan pada Mikka? Ia menggenggamnya dengan erat, gelang persahabatan itupun masih dikenakannya.  

Kini, aku dan yang lainnya berada di pemakaman. Hujan.. Aku diam di bawah sebuah pohon Mapel besar, menyaksikan pemakaman dari kejauhan dan membiarkan badanku basah. Bunda menemaniku disini. Aku tak bisa banyak bergerak, bahkan berlari, karena kini aku berada di sebuah kursi beroda. Aku dapat melihat taman bunga yang telah menjadi saksi bisu persahabatan kita. Aku teringat kembali semuanya, kenangan kita selama 12 tahun bersama. Mikka Maercellin, seorang gadis tomboy, yang telah menorehkan sejuta kenangan di hatiku, memberiku pelajaran tentang hidup dan menyemangatiku ketika aku merasa kecewa. Ia sahabatku dan selamanya akan tetap menjadi sahabatku.  
Hujan turun semakin deras, seakan ikut merasakan kepedihanku. Aku ingin menangis. Tak kuat menahan sakit yang kurasakan. Bunda memberiku payung, dan meninggalkanku untuk mencari Gissele, kakak perempuanku. 

"Angel.. Kuatkan hatimu, jangan menangis lagi.."
Suara itu.. Aku mengenalnya.. Suara Mikka. Tapi ia dimana? Aku mengedarkan pandanganku. Berusaha menemukan Mikka. Tapi aku tak bisa. 
"Lihatlah aku dengan hatimu, jika kau bisa mendengarku. Aku yakin kau bisa melakukannya .." 
Kupejamkan kedua mataku, menggenggam erat jalinan tali ungun hitam itu. Berusaha tenang dan melihat Mikka dengan hatiku. Aku menemukannya. Ia.. di sebelahku.
"Mikka? Kau kah itu?"
"Tentu saja.. Jangan menangis, hadapi semua dengan senyuman. Kita masih bisa bersama, seperti saat ini.. Sekarang kau percaya padaku bukan?"
"Ya.. Mikka.. Maaf jika aku sempat meragukanmu."
"Angel, aku menyayangimu.." 

Kini Mikka bersamaku, menemaniku disini, di bawah rintik hujan menyaksikan upacara pemakaman. Untuk kedua kalinya aku menatap ke pusaran makam Mikka. Namun, kini tidak dengan tangisan lagi, melainkan senyuman. Sebuah senyum ketulusan dan keikhlasan untuk melepas kepergiannya. 

                                                                       

No comments:

Post a Comment