Saturday, August 27, 2011

June 19th 2011 (Fur Elise 1 - End)


Kau merasakan sakit yang tak tertahan di bagian kepalamu. Segera kau memegang keningmu dan berusaha untuk membuka kedua matamu yang nyaris tertutup. Kau berjalan menuju tempat buku keramat itu tersimpan. Buka keramat? Sepertinya kau memberi julukan berlebihan pada buku piano bersampul hijau pupus karangan Beethoven itu, sehingga dapat menimbulkan fantasi yang berlebihan terhadap siapa pun yang mendengarnya. Kau mengambilnya. Membersihkan sampul buku karangan Beethoven yang mulai berdebu itu dengan saputangan kesayanganmu. Kau memeluknya, buku tua itu, tanpa menyadari apa yang kini sedang kau lakukan.


Kau telah melupakan sakit kepala yang membuatmu nyaris tak berdaya. Bahkan kau tak tahu, rasa sakit itu hanya tak sengaja terlupakan ataukah telah menghilang. Kau berjalan lunglai menuju sebuah piano hitam yang terletak di sebelah kamar tidurmu. Perlahan kau membuka tutup piano itu. Namun, kau menutupnya kembali. Kau termenung, pandanganmu terarah pada buku tua yang kini tertata rapi di hadapanmu. Ingatan masa lalu tentang angan untuk menjadi seorang pianis menghantui pikiranmu. Kau menggelengkan kepalamu, berusaha menghilangkan pikiran tentang masa lalumu.

Keraguan menyelimuti dirimu. Namun, kau tetap membuka tutup piano kesayanganmu. Lembar demi lembar buku itu kau buka dengan penuh perasaan. Tanganmu terhenti ketika kau melihat sebuah judul lagu yang tertera di bagian atas halaman berwarna putih pucat itu, “Fur Elise”. Kau menekan tuts pianomu. Melantunkan rangkaian not balok yang tertera dengan lincah.

Fur Elise part I -
Kau menyelesaikan bagian pertama lagu karangan Beethoven yang berjudul Fur Elise. Kau merasa tenang. Ketenangan yang sudah lama kau nanti setelah berbulan-bulan hidup dalam kegalauan. Kau tersenyum dan segera membuka halaman berikutnya.

Fur Elise part II –
Kau melantunkan bagian kedua dari lagu itu tanpa ragu. Membangkitkan semangat yang telah lama hilang, ketika kau merasa bahwa kau tak akan pernah bisa mencapai angan untuk menjadi seorang pianis. Tiba-tiba, kau merasa dadamu sesak, sakit sekal i.. Namun, kau tak berhenti melantunkan lagu favoritmu. Kau juga telah menyelesaikan bagian kedua lagu itu.

Fur Elise part III –
 Kau merasakan sakit yang belum pernah kau rasakan sebelumnya. Keringat dingin mengalir deras di keningmu. Kau menjauhkan jari-jari mungilmu dari tuts-tuts hitam putih itu. Kau teringat sesuatu. Teringat akan sesuatu yang telah mengisi kekosongan hatimu selama 4 tahun silam, yang telah menorehkan bekas mendalam di hatimu, hati kecilmu, sanubarimu.

Kristal bening telah terbentuk di kedua sudut matamu dan terjatuh mengaliri kedua pipimu. Matamu sembab, kau .. menangis. Tak ada lagi binar keceriaan di kedua matamu. Kau kembali termenung. Bernostalgia tentang kejadia 3 bulan lalu, saat kedua orangtuamu memutuskan jalan hidupmu, untuk berhenti mengasah bakat yang telah diberikan Tuhan dan telah di warisi Bunda kepadamu, hanya untukmu.

Rasa sakit yang kau tahan semakin menjadi-jadi. Rasa sakit yang membuatmu membenci dirimu sendiri yang telah mengkhianati kata hatimu untuk tetap melantunkan nada-nada indah yang tercipta dari sebuah alat music bertuts monoton itu. Emosimu kini tak terkendali, kau menangis sekuat tenaga merenungi semua yang telah terjadi. Kau mengusap air matamu dan bangkit. Kini kau mengerti. Kau menyadari, bahwa kau mencintanya, mencintai bakat yang kau miliki lebih dari apa pun.

No comments:

Post a Comment